Saturday, March 26, 2011

Kotor ke POLITIK?

"politic is dirt"..... tegas dan kemas tertulis dalam "pandangan politik" di facebook seorang rakan. Seorang adik usrah ini pula mengemukakan "ada sesetengah pihak menganggap politik itu kotor"....



Kotor sangatkah politik? Benarkah kotor? Di mana kotornya? 
Lalu saya mengimbau bagaimana bermulanya politik. 

Hubungan agama dengan politik terus menjadi perbincangan yang tak bosan dibahas. Ada yang menyatakan bahwa dakwah Rasulullah saw. hanyalah merupakan gerakan keagamaan yang bersifat ritual, spiritual dan moral belaka. Namun, realiti menunjukkan bahwa dakwah Nabi saw. juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Lantas, bagaimana duduk perkaranya?
Sebelum berbicara lebih jauh tentang hal tersebut, penting difahami apa yang disebut politik. Memang, politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun, bagaimanapun ia didefinisikan, satu hal sudah pasti, bahawa politik menyangkut kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan. Dalam pengertian sehari-hari, politik juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara (Amien Rais, Cakrawala Islam, hlm. 27).

Dalam sistem sekular, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditulis dalam buku The Prince. Machiavelli mengajarkan bahwa: 
(1) kekerasan (violence), brutal dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan penguasa; 
(2) penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum);
(3) dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas. Kerananya, praktik politik sistem sekular merupakan homo homini lupus; manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah, “Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang soldadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu” (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie).

Fakta politik seperti inilah yang menjadikan sebagian kalangan Muslim tertipu hingga menyimpulkan bahwa politik itu kotor. Karenanya, Islam tidak boleh mencampuri politik; Islam harus dipisahkan dari politik. Dakwah Nabi saw. pun didudukkan sebagai dakwah spiritualitas dan moral belaka, bukan dakwah yang bersifat politik.

Islam berbeza dengan itu. Politik dalam bahasa Arab dikenali dengan istilah siyâsah, ertinya: mengurusi urusan, melarang, memerintah (Kamus al-Muhîth, dalam kata kunci sâsa). Nabi saw. menggunakan istilah politik (siyâsah) dalam salah satu hadisnya: 

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاََ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
Bani Israil itu diurusi urusannya oleh para nabi (tasûsu hum al-anbiyâ’). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak khalifah. (HR Muslim). 

Jadi, politik ertinya adalah mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam dunia politik bererti memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan kaum kafir atas mereka. Politik Islam berarti mengurusi urusan masyarakat melalui kekuasaan, melarang dan memerintah, dengan landasan hukum/syariah Islam (MR Kurnia; Al-Jamaah, Tafarruq dan Ikhtilaf, hlm. 33-38).

Islam: Gerakan Keagamaan dan Politik

Sebagai gerakan keagamaan, Islam sudah disepakati oleh semua kalangan. Ertinya, Islam merupakan ajaran ritual, spiritual dan moral. Islam mengandung ajaran ritual seperti solat, zikir, puasa, dll. Islam juga mengajarkan spiritual dan moral seperti sabar, tawaduk, istiqamah, berpegang pada kebenaran, amanah, dll. 

Siapapun yang menelaah sirah Nabi saw., baik yang ada dalam as-Sunnah mahupun al-Quran akan menyimpulkan, bahwa dakwah yang dilakukan oleh Baginda dan para Sahabat, selain bersifat ritual, spiritual dan moral, juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Di antara hal-hal yang menunjukkan hal tersebut adalah:  

Pertama, sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul, Muhammad ber-tahanuts di Gua Hira. Namun, setelah dipilih sebagai utusan Allah, Baginda langsung diperintahkan untuk memberikan peringatan di tengah-tengah masyarakat mulai dari keluarga terdekat dan kawan-kawannya. Nabi saw. pun menyebarkan dakwah di tengah-tengah mereka. Baginda bergerak ke masyarakat.

Kedua, Rasulullah saw. melakukan pemantapan akidah. Sejak awal, Nabi saw. Memproklamirkan: Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh. Dengan syahadat tersebut bererti tidak ada yang wajib disembah, diibadahi dan dipatuhi selain Allah. Menaati Allah haruslah dengan mengikuti utusan-Nya, Muhammad saw. Jadi, syahadat merupakan pengingkaran terhadap thâghût serta keimanan kepada Allah dan Rasul. Ini merupakan deklarasi politik. Karenanya, dapat difahami mengapa Abu Jahal dan Abu Lahab, misalnya, tidak mau mengucapkannya. Bukan tidak boleh, melainkan mereka tahu apa isi kandungan dan konsekuensinya: kekuasaan mereka untuk menetapkan hukum hilang; hak mereka menetapkan baik-buruk, benar-salah, dan terpuji-tercela yang selama ini mereka miliki pun tidak ada lagi. Semuanya harus ditetapkan oleh wahyu.

Ketiga, dakwah Nabi saw. menyerukan pengurusan masyarakat (ri‘âyah syu’ûn al-ummah). Ayat-ayat Makiyyah banyak mengajari akidah seperti takdir, hidayah dan dhalâlah (kesesatan), rezeki, tawakal kepada Allah, dll. Ratusan ayat berbicara tentang Hari Kiamat (kebangkitan manusia dari kubur, pengumpulan manusia di padang mahsyar, pahala dan dosa, syurga dan neraka, dll); tentang pengaturan terkait akhirat seperti nasihat dan bimbingan, membangkitkan rasa takut terhadap azab Allah, serta memberikan semangat untuk terus beramal demi menggapai redha-Nya.
Selain itu, ratusan ayat al-Quran dan hadith di Makkah dan Madinah diturunkan kepada Nabi tentang pengaturan masyarakat di dunia. Misalnya jual-beli, sewa-menyewa, wasiat, waris, nikah dan talak, taat pada ulil amri, mengoreksi penguasa sebagai seutama-utama jihad, makanan dan minuman, pencurian, hibah dan hadiah kepada penguasa, pembunuhan, hijrah, jihad, dll. Semua ini menegaskan bahwa apa yang didakwahkan Nabi saw. bukan hanya persoalan ritual, spiritual dan moral. Dakwah Nabi saw. berisi juga tentang hal-hal pengurusan masyarakat. Ertinya, dilihat dari isinya dakwah Rasulullah saw. juga bersifat politik.

Keempat, Rasulullah melakukan pergulatan pemikiran. Pemikiran dan pemahaman batil masyarakat Arab kala itu dikritis. Terjadilah pergulatan pemikiran. Akhirnya, pemikiran dan pemahaman Islam dapat menggantikan pemikiran dan pemahaman lama. Konsekuensinya, hukum-hukum yang diterapkan di masyarakat pun berubah.

Rasulullah saw. dengan al-Quran menyerang kekufuran, syirik, kepercayaan terhadap berhala, ketidakpercayaan akan Hari Kebangkitan, anggapan Nabi Isa as. sebagai anak Tuhan, dll. Hikmah, nasihat, dan debat secara baik terus dilakukan oleh Nabi saw. Al-Quran mengabadikan hal ini:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (argumentasi yang kuat) dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl [16]:125). 

Jelas, ini merupakan aktiviti politik karena merupakan aktiviti ri‘âyah syu’ûn al-ummah, mengurusi urusan rakyat.

Kelima, para pembesar Quraisy banyak menzalimi rakyat, kasar, menghambur fitnah, dan banyak bersumpah tanpa ditepati. Rasulullah saw. dengan tegas menyerang mereka karena kesombongan dan penentangan mereka. Di antara pembesar yang diserang langsung oleh Baginda adalah Abu Lahab dan istrinya (Ummu Jamil). Sementara itu, Walid bin Mughirah diserang dengan menyebutkan ciri, perilaku, dan tindakannya terhadap masyarakat. Misalnya, Nabi saw. menyerang Walid dengan ayat:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ، هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ، مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ، عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ، أَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ، إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ ءَايَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ، سَنَسِمُهُ عَلَى الْخُرْطُومِ
Janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku (kasar), selain dari itu yang tidak diketahui siapa bapaknya karena dia mempunyai banyak harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami (Allah), ia berkata, “Ini adalah dongengan orang-orang terdahulu.” Kelak akan Kami beri tanda di belalainya (hidungnya). (QS al-Qalam [68]: 10-16).

Selain itu, Nabi saw. menyampaikan wahyu dari Allah yang berisi pembongkaran terhadap tipudaya para penguasa Quraisy itu (QS ath-Thariq [86]: 15-17; al-Anfal [8]: 30). Semua ini merupakan perjuangan politik. Arahnya adalah menghentikan kezaliman pembesar terhadap rakyatnya, seraya menyerukan Islam sebagai keadilan yang menggantikannya.

Keenam, Nabi saw. menentang hubungan-hubungan rosak di masyarakat dan menyerukan Islam sebagai gantinya. Pada saat itu, kecurangan dalam takaran dan timbangan sudah merupakan hal lumrah dalam jual-beli. Rasulullah menentang keras sistem masyarakat seperti ini (QS al-Muthaffifin [83]: 1-6).

Sistem masyarakat yang diterapkan penguasa/pembesar kala itu membiarkan pembunuhan terhadap anak-anak karena takut miskin, khawatir tidak terjamin makan dan kehidupannya. Rasul saw. justeru berteriak lantang bahawa tindakan tersebut adalah dosa besar. Beliau menyerukan: tidak perlu takut dan khawatir miskin karena Allahlah yang mengatur rezeki. Perzinaan pun bermaharajalela. Di tengah masyarakat yang mengagungkan pergaulan bebas itu, Nabi saw. mencela perzinaan. Beliau juga menentang keras pembunuhan yang ketika itu merupakan kebiasaan masyarakat yang dilegalkan oleh hukum penguasa. Perilaku para pembesar yang biasa mengambil harta anak yatim ditentang habis-habisan. Kebiasaan rakyat dan penguasa yang sering tidak memenuhi janji pun dilawannya; diluruskan. Lalu diserukan perubahan semua itu dengan syariah Islam (QS al-Isra’ [17]: 31-34).

Jelas, Rasulullah saw. bergerak di tengah masyarakat, membela kepentingan mereka, menentang aturan dan sistem yang rosak, serta mendakwahkan ajaran Islam sebagai gantinya. Semua ini merupakan aktiviti politik.

Ketujuh, setelah berhijrah dari Makkah ke Madinah, Beliau mendirikan institusi politik berupa negara Madinah. Beliau langsung mengurusi urusan masyarakat. Misalnya dalam bidang pendidikan Baginda menetapkan tebusan tawanan Perang Badar dengan mengajar baca-tulis kepada sepuluh orang kaum Muslim pertawanan. Dalam masalah pekerjaan Nabi saw. mengeluarkan kebijakan dengan memberi modal dan menyediakan lapangan pekerjaan berupa pencarian kayu bakar untuk dijual (HR Muslim dan Ahmad). Nabi saw. pernah menetapkan kebijakan tentang lebar jalan selebar tujuh hasta (HR al-Bukhari). Baginda juga mengeluarkan kebijakan tentang pembahagian saluran air bagi pertanian (HR al-Bukhari dan Muslim). Begitulah, Nabi saw. sebagai kepala pemerintahan telah memberikan arahan dalam mengurusi masalah rakyat.

Secara langsung, Rasulullah saw. menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penulis (kâtib) setiap perjanjian dan kesepakatan, Harits bin Auf sebagai pemegang stempel kepala negara (berupa cincin) Nabi saw., Muaiqib bin Abi Fatimah sebagai pendata rampasan perang (ghanîmah), Hudzaifah bin Yaman sebagai kepala pusat statistik hasil buah-buahan di Yaman, dll.

Berdasarkan perilaku dakwah Nabi saw. dan para Sahabatnya di atas, jelaslah, dakwah Baginda tidak sekadar mencakupi ritual, spiritual dan moral. Dakwah Baginda juga bersifat politik, yakni mengurusi urusan umat dengan syariah. Kerananya, dakwah Islam haruslah diarahkan seperti yang dilakukan Baginda. Politik tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari Islam. Tentu, sekali lagi, politik yang dimaksud bukanlah politik Machiavellis atau sekular.

Senario di Malaysia.

Dan saya tertanya-tanya, bagaimana boleh begini teruknya tanggapan sesetengah masyarakat di tanah air ini terhadap politik? Adakah kerana nagara umat Islam Malaysia ini mengamalkan politik sekular yang bersandarkan teori Machiavelli? Ungkapan paling senang untuk teori Machiavelli adalah, "niat menghalalkan cara"

Dan saya terus tertanya-tanya, siapa yang mewarnai dunia politik Malaysia sehingga keluarnya kenyataan "politic is dirt". Bukan itu sahaja, ramai lagi yang apabila ditanya tentang politik, masing-masing akan kata 'no komen', 'tak nak masuk campur', 'tak nak terlibat'............ Apakah punca keluarnya kenyataan seperti ini? Siapa punya angkara semua ini?

Bekerja di dunia pemasaran memberi saya peluang bertemu dengan sekian ramai orang. Dan baru-baru ini berpeluang berbual dengan seorang berpangkat pegawai di salah sebuah koperasi yang saya kira antara yang terulung. Ditubuhkan sekitar 1960an, ahlinya mencecah ribuan. Dalam perbualan yang hampir 2 jam itu, sempat juga puan itu ceritakan bagaimana bangun jatuhnya koperasi yang dia sangat setia padanya sejak seawal penubuhan sehingga kini. 

Mengejutkan, koperasi ini dianggotai juga oleh pak-pak menteri, malah diasaskan satu ketika dahulu juga oleh pak manteri, cuma kini pak-pak menteri ini tidak aktif, ahli kongsi tidur barangkali. Puan ini menceritakan bagaimana koperasi ini pernah terduduk jatuh akibat campurtangan politik, atau istilahnya 'tangan-tangan ghaib' yang senang-senang bawa keluar masuk duit. Selepas kejadian itu, kini koperasi ini 'silent' daripada sebarang aktiviti yang melibatkan politik.

Beberapa hari sebelum itu juga berpeluang bertemu dengan beberapa orang pegawai di PKNS. Sengaja menguji, apa pendapatnya setelah berpeluang bekerja di bawah dua payung 'kerajaan negeri'? Tanpa bersembunyi, mereka ini dengan jujurnya mengatakan lebih gembira dan senang dengan kerajaan Selangor kini. Kalau dahulu, terlalu banyak projek-projek hantu yang perlu diluluskan tanpa syarat, tangan-tangan ghaib yang menyeluk poket akaun, arahan-arahan diktator yang tak boleh dilawan, sehingga caca-marba, huru-hara, pening kepala. Bukan seorang pegawai, malahan hampir kebanyakannya yang saya temui di PKNS berkata begitu. Kini, semua itu tiada lagi. Cuma audit terlalu banyak, kerana 'telus' menjadi prinsip kerajaan negeri kini.

Petang itu, berbual pula dengan bos yang menceritakan bagaimana berbezanya layanan yang diterima ketika mengunjungi pejabat UMNO dan pejabat PKR. Di pejebat PKR, layanan diterima sungguh mesra, sehingga dato' sendiri yang menyerahkan dokumen yang diperlukan, malah berkesempantan melayan tetamunya. Berbeza denga pejabat UMNO, semua staff nya berwajah sombong, tapi akan berubah jadi sangat baik kalau kita hadir membawa 'hadiah'. Saya kira itu baru jumpa PKR, belum jumpa mentornya lagi. Cuma bezanya, pejabat PKR agak dhaif berbanding pejabat UMNO yang hampir serupa hotel. Nah, duit rakyat gak tu? Boleh guna untuk kepentingan parti ke?

Selain berurusan dengan pelanggan, saya juga perlu berurusan dengan para pembekal. Isu yang sama diutarakan oleh pembekal tanpa saya tanya, mereka lemas dan rimas untuk berurusan dengan orang politik. Benarlah, projek akan dapat banyak, tapi akhirnya 'tengkuk' dipegang, tak boleh kemana-mana. Duit pun kene banyak keluar, sponsor sana-sini, untuk kepentingan politiknya. Itu belum masuk bab 'mark up' khas yang akan masuk ke kocek si ahli politik. Rasuah lagi, hadiah lagi, entertain lagi..... adoi, sakit.......

Setelah lebih 50 tahun merdeka, inilah warna politik tanahair yang diwarnakan oleh parti pemerintah kerajaan pusat. Bukan bercakap kosong, tapi kalau anda nak tahu, pergilah tanya mereka-mereka ini sendiri.

Seorang sahabat yang bekerja di Petronas pernah bekata "kalau kita survey, ramai rakyat dah tukar pendirian, tapi peliknya, mengapa tidak diterjemahkan ke kertas undi".... Entahlah..............


e-man i-man


http://ameeratuljannah.wordpress.com/2007/07/24/gerakan-politik-rasulullah-saw/